Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli Dibutuhkan Kolaborasi Multi Pihak Sabtu, 06/09/2025 | 12:46
Berkabarnews.com, Bogor - Belantara Foundation bekerja sama dengan PT. Agincourt Resources, Program Studi (Prodi) Manajemen Lingkungan Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan dan LPPM Universitas Pakuan, menyelenggarakan kegiatan Belantara Learning Series Episode 13 (BLS Eps.13) dengan tema “Peluang Koeksistensi Dalam Upaya Konservasi Orangutan Tapanuli.”
BLS Eps. 13 secara luring dipusatkan di Auditorium Lantai 3 Gedung Sekolah Pascasarjana Universitas Pakuan di Bogor, sedangkan daring melalui aplikasi Zoom dan live streaming Youtube Belantara Foundation. Lebih dari 780 peserta berpartisipasi aktif dalam kegiatan yang digelar secara hybrid tersebut.
Kegiatan ini juga didukung oleh Forum Konservasi Orangutan Indonesia (FORINA) dan Pusat Riset Primata Universitas Nasional, serta menggandeng enam universitas sebagai kolaborator yang mengadakan acara “Nonton dan Belajar Bareng” BLS Eps.13 bagi mahasiswa dan dosen di masing-masing universitas.
Enam universitas tersebut adalah, Universitas Pakuan, Universitas Riau, Universitas Andalas, Universitas Negeri Jakarta, Universitas Nusa Bangsa dan Universitas Tanjungpura.
Pada tahun 2023, International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) telah mempublikasikan dokumen panduan tentang konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar.
Tujuan utamanya adalah untuk menjelaskan berbagai langkah komprehensif dan efektif yang harus dipertimbangkan sebelum penerapan penanganan konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar. Tujuan lainnya adalah untuk memberikan masukan mengenai langkah apa saja yang dapat digunakan dalam pengelolaan konflik dan koeksistensi manusia-satwa liar.
Indonesia merupakan salah satu negara “Biodiversity Country” yang memiliki keanekaragaman hayati tinggi, sehingga menjadi rumah bagi berbagai jenis satwa liar unik dan kharismatik, salah satunya adalah orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis).
Direktur Konservasi dan Genetik, Ditjen KSDAE Kementerian Kehutanan RI, Nunu Anugrah saat memberikan keynote speech menjelaskan, tantangan pelestarian orangutan termasuk orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) cukup kompleks dan melibatkan berbagai faktor, baik yang disebabkan oleh aktivitas manusia maupun perubahan alam.
Beberapa tantangan utamanya adalah fragmentasi dan menyempitnya habitat, perburuan dan perdagangan ilegal, isolasi populasi dan risiko genetik penyakit, kesadaran dan Pendidikan, serta konflik dengan manusia.
“Menyikapi fenomena tersebut, Pemerintah Indonesia telah melindungi orangutan tapanuli secara hukum melalui Peraturan Menteri LHK No. P.106/MENLHK/SETJEN/KUM.1/12/2018, dan berbagai inisiatif telah dilaksanakan untuk mendorong koeksistensi antara manusia dan orangutan tapanuli," katanya.
Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Zoologi Terapan BRIN, Dr. Wanda Kuswanda mengungkapkan bahwa orangutan tapanuli (Pongo tapanuliensis) adalah spesies kera besar yang telah dipisahkan dari orangutan sumatera (Pongo abelii) pada akhir tahun 2017 lalu.
"Menurut Daftar Merah IUCN, orangutan tapanuli berstatus kritis (Critically Endangered) atau sangat terancam punah karena habitatnya terbatas hanya di Hutan Batangtoru, Tapanuli Selatan di Sumatera Utara," katanya.
Berdasarkan dokumen Strategi dan Rencana Aksi Konservasi (SRAK) Orangutan Pemerintah Indonesia 2019-2029, populasi orangutan tapanuli diperkirakan berjumlah 577-760 individu saja.
Menurut Wanda, orangutan tapanuli hanya dapat dijumpai di Hutan Batangtoru yang meliputi tiga kabupaten, yaitu Tapanuli Utara, Tapanuli Tengah, dan Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara.
Luasan Lanskap Batangtoru diperkirakan 240–280 ribu hektar dan yang menjadi habitat orangutan tapanuli hanya sekitar 138.435 ha (49%) serta terpisah dalam tiga blok habitat. Orangutan tapanuli sangat menyukai tanaman budidaya yang ditanam masyarakat sehingga dapat menimbulkan konflik.
"Upaya mitigasi konflik antara manusia dan orangutan tapanuli harus menjadi prioritas multi pihak. Prinsip dasar dalam mitigasi konflik adalah keselamatan bagi manusia dan orangutan tapanuli. Mitigasi konflik dapat dilakukan untuk mengurangi atau menghapus risiko kerugian dan korban yang mungkin terjadi pada kedua belah pihak," ujarnya.
Sedangkan Direktur Eksekutif Belantara Foundation, Dr. Dolly Priatna pada paparannya menuturkan bahwa saat ini koekistensi atau hidup berdampingan secara harmonis antara manusia dengan satwa liar sudah menjadi keniscayaan.
"Salah satu cara yang dapat diaplikasikan adalah menggunakan pendekatan C2C, atau Conflict to Coexixtence, yaitu bagaimana mengubah konflik menjadi sebuah koeksistensi," katanya.
Pendekatan yang holistik dan adaptif ini menerapkan empat prinsip utama, yaitu menjaga toleransi, berbagi tanggung jawab, membangun ketahanan, serta mengedepankan holisme.
“Kami percaya bahwa dengan adanya kemauan dan komitmen bersama, serta kolaborasi lintas sektor antara pemerintah, akademisi, pelaku usaha, NGO, masyarakat lokal, serta media, mimpi kita bersama untuik menciptakan lingkungan dimana manusia dan satwa liar dapat hidup berdampingan secara harmonis dapat diwujudkan”, pungkas Dolly.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Hubungan Eksternal PT Agincourt Resources, Sanny Tjan, menegaskan bahwa acara seminar nasional yang didukung perusahaan melalui Belantara Foundation sebagai penyelenggara, merupakan kegiatan untuk membangun kesadaran publik serta meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pengelolaan keanekaragaman hayati, termasuk pelestarian orangutan tapanuli beserta habitatnya.
Menurut Sanny, keberhasilan konservasi keanaekaragaman hayati salah satunya dapat dicapai melalui kolaborasi multipihak yang berjalan berkesinambungan.
Kolaborasi ini perlu menghadirkan kontribusi nyata dari seluruh elemen sesuai dengan peran dan fungsinya masing-masing, untuk mewujudkan kehidupan yang selaras atau living in harmony.
Associate Fellow Departemen Antropologi, FISIP Universitas Indonesia dan Co-founder Anama Consulting, Sundjaya, mengatakan bahwa strategi konservasi orangutan tapanuli berbasis masyarakat lokal mulai berkembang dan penting.
Etnografi, metode riset dalam antropologi, dapat menjadi langkah awal memahami aspek sosial kultural masyarakat di sekitar hutan dan interaksi mereka dengan orangutan tapanuli. **/ril